Jumat, 16 November 2007

Namaku Unik Sekali

Namaku Sundari, tapi aku lebih suka dipanggil Ndari. Awalnya aku tidak suka dengan nama itu, terlalu singkat, dan keanya terlalu kuno untuk anak-anak yang terlahir di tahun-tahun terakhir era delapan puluhan. Entah mengapa eyang putri dulu memberi nama seperti itu (mungkin beliau terobsesi penyanyi keroncong Sundari Sukoco). Dan, entah mengapa pula orang tuaku mau saja menerima usulan beliau dan memasangnya ”plek” begitu saja sebagai identitas anaknya yang tercantik ini (bukanya narsis, tapi aku memang anak perempuan sendiri diantara kakak dan adik laki-lakiku, orang jawa bilang dengan istilah sendang kapit pancuran). Mbok yao dimohon dengan sangat dan hormat menambahkan apa githu dibelakangnya. Bukankah setiap orang tua berkewajiban memberi nama yang baik bagi anak-anaknya, karena nama seorang anak adalah doa orang tuanya.
Perasaan rendah diriku bertambah ketika aku duduk di sekolah lanjutan pertama, SMP Negeri 4 Kediri. Apalagi ketika melihat daftar nama seluruh temanku di kelas. Bayangkan namaku yang hanya terdiri dari tiga suku kata harus diurutkan dengan nama panjang temanku seperti Muhammad Pramudita Vivekananda Kusuma Wardhana (wah…kereta dhoho aja kalah panjang. Sory Dit…^^). Atau, dibandingkan dengan nama temanku yang sarat makna sepertii Fitri Rosda Fakhrudin Hasfa Ayatullah, wes… namaku semakin gak keren blas.
Minderku semakin menjadi-jadi waktu awal masuk di SMA negeri Kediri. Ketika permulaan duduk di kelas satu, guru Bahasa Indonesia dengan terang-terangan mengatakan bahwa aku adalah korban kesalahan orang tua dalam soal pemberian nama. Namaku, kata Bu Endang (bukan nama yang sebenarnya) lebih cocok untuk orang-orang yang dilahirkan di era lima puluhan. Duh…rasanya pengen nangis saja saat itu. Seorang guru yang danggap memiliki jenjang pendidikan yang tinggi tega berkata seperti itu. Dan, akupun semakin membenci namaku.
Tetapi ternyata namaku memiliki kelbihan juga. Dalam pengisian Lembar Jawab Komputer (LJK), aku bisa mengisi lebih cepat dibanding teman-temanku dan pastinya dengan tingkat kesalahan lebih rendah. Gara-gara namku yang unik dan langka, aku lebih mudah dikenal orang-orang sekitarku. Gara-gara namaku juga banyak orang yang memaklumi atau kasihan kepadaku. Tanya kenapa?! Karena orang-orang berpikir atau lebih tepatnya salah menilaiku. Aku serind dianggap berasal dari daerah terpencil, pelosok yang mungkin aja namanya tidak tercantum di peta. Jika aku melakukan kesalahan atau tidak tahu akan suatu hal, sering orang berujar ”Maklum wong ndeso”. Atau ketika aku aku tahu akan sesuatu, sering orang berguman ”Wong ndeso kok bisa tau, ya?”. Padahal daerahku yang merupakan kandangnya Persik ini gak katrok-katrok banget. Listrik saja sudah digunakan sejak tahun tujuh puluhan. Polusi udara dan udara panas sudah menjadi makanan sehari-hari di kotaku meskipun tidak sepanas Surabaya, tempatku menapaki tangga ilmu pengetahuan sekarang.
Sekarang, aku lebih menerima nama pemberian nenekku itu. Karena, aku bherpikir waktu tidak akan pernah berputar kembali ke masa lalu. Dan namaku pastinya tidak akan pernah berubah seberapapun aku menyesali diri. Bagian terpenting dari diriku bagaimana aku bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena kebahagiaan sejati bukanlah didirikan atas sanjungan-sanjungan orang lain, harta-harta yang kita miliki, tetapi kebahagiaan sejati adalah bagaimana kita memberikan sesuatu yang berarti bagi orang lain. Jadi biarlah orang lain menyebutku ”apa” tetapi itu tidak akan berpengaruh pada diri sendiri. Mengutip perkataan William Shakespeare, apalah arti sebuah nama? Mawar akan tetap harum meskipun orang memanggilnya bunga bangkai. Memangnya kamu mawar. Ndar?

1 komentar:

ryumonde mengatakan...

hahahahh
bukannya ini yg kamu jadiin artikel profil diri km waktu qt msk reto dulu
ketauan dunk kekekekek