Senin, 07 Januari 2008

Spin Doctor, Bukan Public Relation

Kemarin, hari minggu sempat saya ngobrol dengan salah satu senior dari jurusan politik tentang devisi infokomnya sebuah organisasi nasional A. Kemudian perbincangan kami diselingi dengan perdebatan seputar fungsi sebenarnya dari devisi infokom tersebut. Senior saya yang terkenal sebagai konseptor handal ber-ide panjang lebih panjang dari giginya ini (maaf ya, Xiemen. menyinggung gigi panjangmu. Baguskan ku puji…..^^), mengatakan devisi tersebut lebih mengurusi agitasi propaganda dan juga pencitraan jadi fungsinya kayak Public Relation (PR). Saya langsung menolak pendapatnya “Enggak mas, itu Spin Doctor bukan PR”. Kemudian terus terjadi pedebatan antara kami berdua yang sama-sama mempertahankan pendapat yang sampai akhirnya belum menemui titik temu.

Baiklah saya akan mengulas perbedaan Spin Doctor (SP) dengan PR. Menurut Grattan, “Highly proffessional selling of the political message that’s involves maximum management and manipulation of the media”. Seperti kata xiemen Spin Doctor itu pekerjaannya meliputi agitasi dan propaganda. Spin itu mengaduk, doctor itu ahli. Jadi maksudnya adalah ahli mengaduk, ahli memutar balikkan, yang salah jadi benar, yang benar jadi salah, yang salah semakin dipersalah dan begitu sebaliknya asal tidak merugikan organisasinya. Begitu pula model pencitraanya. SP biasanya berkaitan dengan masalah politik, ada sumber lain yang mengatakan SP adalah juru bicara perorangan atau organisasi.

Sedangkan PR tidak seperti itu. PR lebih bersifat menghubungkan antara organisasi dengan publiknya, baik internal maupun eksternalnya. Cara kerja PR berdasarkan kode etik, tidak boleh merugikan publiknya meski itu eksternal seperti masyarakat sekitar organisasi. Jadi pekerjaannya sangat dilarang untuk menipu. Jika ingin mencitrakan, dengan cara berusaha menggembor-nggemborkan kelebihan yang ada dan tidak pernah mengekspos kekurangannya. Beda dengan SP yang kelebihannya itu dibuat bukan berdasarkan yang dia miliki.

Namun orang kebanyakan bias dalam menilai SP sebagai PR. Padahal sistem kerja kedua hal tersebut sangat berbeda. Dan lebih parahnya lagi, sekarang banyak SP yang menyaru sebagai PR. Tapi tidak dengan PR, yang tidak akan pernah mengaku sebagai SP. Akibatnya banyak pihak yang dirugikan oleh kelakua SP, baik mereka sadari atau tidak. Mengapa semua ini terjadi. Entahlah, tendensi-tendensi yang ada-lah yang membuatnya seperti itu.

O iya, mengapa dalam tulisan saya ini tidak pernah mengganti kata PR dengan kata Hubungan Masyarakat (Humas)? Karena saya tidak akan pernah setuju dengan pengartian PR menjadi Humas dalam bahasa Indonesia. PR itu bukan berurusan dengan masyarakat tetapi dengan publik. Masyarakat itu kerumunan banyak orang yang tidak pernah memilik interest yang sama. Beda dengan publik merupakan kerumunan orang yang memiliki interest yang sama. Jika saya disuruh mengganti kata PR ke dalam bahasa Indonesia, akan saya ganti dengan kata ”Hubungan Publik”.

Tidak ada komentar: