Jumat, 07 Desember 2007

Birokrasi Oh Birokrasi

Saya tidak pernah berhenti untuk merasa heran, ketika melihat begitu rumitnya birokrasi di kampus Unair, kampus saya tercinta ini. Untuk sekaliber Unair yang mempunyai peringkat ke 5 di Indonesia, mengapa mahasiswanya harus mengahadapi seperangkat peraturan yang sulit jika ingin mengembangkan bakat dan kemampuanya.

Pengalaman pertama saya, bulan Februari tahun ini, ketika saya harus melakukan pembayaran SPP untuk semester dua. Kami terpaksa harus mengalami 3 macam antrian di bank untuk menyelesaikan hajat tersebut. Setelah itu kami diharuskan ke kampus C yang letaknya 2 Km dari kampus kami, kampus B, untuk memasang barcode di KTM kami. Barulah setelah itu kami bisa mengambil KHS, KRS semester selanjutnya, dan kertas pedoman mata kuliah semester genap. Angele pek ….>_<

Teman saya yang kuliahnya dobel di ITS sempat ngomel-ngomel gara-gara ini. Di ITS dia bisa melakukan daftar ulang dan segala tetek bengek kebutuhan kuliah awal semester tanpa harus datang langsung. Mendengar omelan-omelan teman tadi, kening saya berkerut, orang sekalem dan sependiam dia bisa marah juga ketika menghadapi rentetan peraturan yang melelahkan. Wah... berarti peraturan di sini memang benar-benar mampu merubah sifat orang 180 derajat. Untunglah semester berikutnya, peraturan berubah sedikit meringankan. Kami cukup mengalami 1 macam antrian di bank kemudian bisa langsung memasang barcode di fakultas tanpa harus berpanas-panas ria menuju kampus C.

Kasus kedua, ketika kami akan mengadakan suatu kegiatan yang tujuannya meng-upgrade kemampuan mahasiswa. Untuk meminjam kelas demi kegiatan tersebut, kami diharuskan membayar peminjaman ruang tersebut sebesar Rp. 100.000,- per hari, itu belum termasuk beaya petugas dan LCD-nya. Wah...wah...wah...ini Universitas atau rental ruangan. Belum lagi harus jaga-jaga jika sewaktu-waktu ruangan yang sudah kita boking ternyata digunakan oleh dosen untuk acaranya. Terpaksa, kita harus cari ruangan lain, tidak peduli apakah proposal kegiatan mahasiswa lebih dahulu masuk daripada proposal acara dosen. Inilah Universitas Airlangga, mahasiswa nomer dua!!!

Kasus ketiga, baru saja saya alami hari ini. Ini kali pertama saya mengurus PKLPerkembangan Teknologi Komunikasi (Pertekom). Setelah mendapat tanda tangan dari PJMK, kami ke ruang Akademik. Disana kami diceramahi oleh Bapak X, ”Ini harus dikopi sebanyak sekian, kemudian minta tanda tangan ke Wadek 1, setelah itu kemari lagi buat surat ini, kemudian ke rektorat (rektorat itu kampus C, saudara-saudara,,,) minta itu, kemudian ke Wadek 2 minta tanda tangan biar dananya bisa turun, kemudian baru ke keuangan....” kemudian kesana, terus kesini, kemudian..kemudian...kemudian...huh...capek deh!!

Dan, bayangkan saudara-saudara ketika mengalami perjalanan panjang menuju impian (halah...), setelah berpanas-panas ke kampus C, naik turun tangga sampai berkali-kali, menipiskan alas kaki kami, kedinginan di ruang Warek dan Wadek pastinya karena AC yang super, ternyata perjuangan kami sia-sia...T_T. Ketika kami mengalami tahap menemui Pak Joko Adi alias Pak Jodi, kami harus menerima pil pahit. Uang PKL tidak bisa turun karena proposal masuk setelah tanggal 2 November. What!!! Padahal kami mendapat tugas Kuliah Lapangan ini baru pertengahan November. Bagaimana seh ini? Katanya Mas Irvan untuk PKL ini setiap mahasiswa mendapat jatah Rp. 45.000,- , sementara itu menurut Pak Jodi ini sudah diberitahukan pada tiap-tiap jurusan. Mas Irvan? Pak Jodi? Mana yang benar? Argh......Rasanya pengen teriak saja....

Sudahlah, saya tidak ingin menjelek-jelekan Kampus tercinta dengan cerit-cerita lain. Hanya saya merasa mengapa berubahnya Unair menjadi sebuah BHMN tidak ikut merubah sistem kerja yang ada di dalamnya. Saya sebagai mahasiswa merasa seperti seorang Marhaen yang terpinggirkan oleh sistim yang ada. Ingin sekali saya dobrak sistim-sistim itu, tapi apalah daya saya tidak punya kekuatan apa-apa. Mau mati, Ndar? Wah saya belum siap. Masih banyak yang saya ingin wujudkan dari khitah, cita-cita, idealisme saya. Masih jauh jalan yang harus saya tempuh untuk meraih keinginan, dan saya tidak mau berhenti atau diberhentikan baik secara nyata atau pemikiran. Tapi, jika ternyata banyak orang yang mempunyai nasib dan keinginan seperti saya untuk mendobrak sistim yang ada, mengapa tidak?

Tidak ada komentar: