Sabtu, 01 Desember 2007

Sosial Demokrasi Sebagai Bentuk Demokrasi Indonesia

Kemarin, baru saja kita merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia yang yang ke 62 tahun. Sayangnya makin tua usia republik, kian rapuh pula kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan hanya dinikmati oleh pihak-pihak tertentu saja. Di lain pihak banyak yang merasa belum merdeka sepenuhnya.
Perasaan tersebut sebenarnya bersumber pada keadaan dimana hanya segelintir orang yang mampu menikmati kekayaan alam material tanpa mempertimbangkan perasaan keadilan yang ada dalam masyarakat. Sejumlah orang yang menduduki posisi strategis merasa sudah mewakili dan menjalankan seluruh kepentingan bangsa Indonesia seluruhnya, dan menanggpa mempunyai kewenangan untuk kuras habis kekayaan alam di seluruh pelosok Indonesia.
Akibatnya, ada semacam sense of denial, perasaan ditolak karena merasa sekelompok orang bukanlah bagian yang sah dari organisasi kolektif yang bernama ”Indonesia”. Mereka merasa, keikutsertaan dalam sebuah negara hanyalah bentuk ”conquista”, penaklukan atau pemaksaan, daripada sebuah konsesnsus atau kesepakatan bersama. Tidak heran, sekelompok-sekelompok orang itu banyak yang merasa harus memisahkan diri dari Indonesia, GAM dan RMS misalnya.
Untuk menghadapi hal-hal tersebut, formula yang tepat adalah sosial demokrasi. Bukan liberalisme dan bukan pula sosialisme.
Sebenarnya kehidupan demokrasi yang ideal dari dulu sampai sekarang tidak pernah terwujud. Memang pada tahun 507 SM, pemerintahan Yunani dianggap mampu menjalankan demokrasi dengan adanya Majelis Permusyawaratan Yunani dan Senat Romawi. Tetapi itu tidak bisa disimpulkan sebagai bentuk demokrasi yang ideal. Karena, saat itu budak yang mempunyai jumlah terbesar di negara kota itu, hak-haknya masih dipasung untuk mengeluarkan pendapat atau aktivitas kegiatan lain.
Kehidupan demokratis pada zaman kerajaan hanya dinikmati oleh raja dan kerabatnya saja. Rakyat hanya diperas dan dijadikan boneka permainan belaka, tidak boleh menuntut maupun bersuara. Karena, ada anggapan bahwa raja adalah wakil Tuhan di dunia. Maka, raja mempunyai kekuatan yang absolut dan benar untuk megatur segalanya.
Salah seorang raja yang demikian itu pernah ditanya oleh salah seorang menterinya: ”Ratu, apakah staat itu? Apa yang dinamakan staat itu?” Raja menjawab : ”Staat itu adalah aku sendiri! L’etat C’est Moi!” memang raja itu adalah seorang otokrat yang tulen”
(Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi hal 171)
Ini bisa terjadi karena dalam pemerintahanya raja di dukung oleh dua golongan yaitu kaum bangsawan dan pemuka agama. Kedua golongan ini pastinya mendapa hak istemewa juga untuk memeras rakyat. Misalnya di Perancis pada zaman sebelum Revolusi Perancis meletus (1789),
Karena merasa tidak terwakili suaranya, maka rakyat memunculkan sauatu ruang agar mereka dapat mengeluarkan pendapatnya. Inilah yang disebud dengan konsep ”public sphere”. Munculnya konsep ini menrut Habermas disebabkan oleh tiga faktor yaitu, capitalism, economy, dan individualism. Konsep ini muncul pertama kali di Perancis pada waktu pra revolusi terjadi. Public sphere saat itu bertempat pada barber shop dan kedai kopi. Sehingga, bisa disimpulkan yang bisa menikmati hanya kalangan ber-uang saja. Akibatnya, public sphere pada saat itu digunakan golongan borjuis untuk menyusun taktik meruntuhkan monarki perancis. Sementara itu rakyat miskin hanya dijadikan alat untuk menjalankanya. Setelah itu mereka kembali menjadi kaum yang terpinggirkan dan terperas. Dahulu ”kawulo” menjadi ”buruh”.
Memang pada demokrasi parlementer golongan proletar juga mendapatkan hak untuk menyampaikan pendapatnya karena telah disediakan tempat untuk perwakilan. Inilah yang disebud dengan ”demokrasi politik”. Tetapi ternyata demokrasi politik saja tidak cukup. Karena, demokrasi yang secara ekonomi belum benar-benar diterapkan. Proletar tetap tertindas dari segi ekonomi, tetap diperas tenaganya tanpa imbalan yang sesuai. Itu bentuk demokrasi yang berupa parlementer yang diterapkan pada negara-negara penganut paham kapitalis.
Lalu bagaimana keadaanya dengan Indonesia? Rakyat tidak hanya tidak memperoleh demokrasi secara ekonomi tetapi juga tidak memperoleh demokrasi secara politik. Secara ekonomi misalnya, hak-hak rakyat yang tertuang dalam pasal 33 telah dirampas dengan adanya privatisasi dan swastanisasi. Belum lagi adanya fenomena Economic Hit Men (EHM) yang membuat Pemerintahan Indonesia hanya menjadi tukang atau pekerja untuk menjalankan konspirasi global. Ini pastinya menyebabkan rakyat semakin menderita.
Secara politik, ternyata wakil rakyat tidak mampu manjadi juru bicara rakyat yang baik. Mereka malah berusaha mengeruk keuntungan dibalik posisinya. Di Indonesia belum ada sebuah ”public sphere” yang tepat untuk menjembatani secara vertikal antara rakyat dengan pemerintahanya. Media yang merupakan ruang tersebut belum bisa dikatakan public sphere yang bagus. Karena ternyata media di Indonesia hanya berupa commentarian pers bukan emansipatory pers.
Jadi bagaimana bentuk demokrasi yang tepat diterapkan pada Indonesia? Bukan demokrasi kapitalis yang hanyadinikmati oleh pemilik modal. Dan juga bukan pula pada sosialis yang berpijak pada materialisme historis dan mengandalakan bentuk mass society bukan civil society. Menurut Sukarno, sosial demokrasi adalah demokrasi yangberdiri dengan kedua kakinya di dalam masyarakat. Sosial demokrasi timbul karena adanya sosio-nasionalisme (nasionalisme marhaen yang enolak tiap tindak borjuis yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat. Menurut saya, sosial demokrasi akan berjalan dengan baik jika ada publik sphere yang benar-benar mampu menjembatani antara pemerintah dan rakyat. Selain itu rakyat harus bersifat dewasa dalam menyikapi kebutuhanya dan pemerintah benar-benar mau terjun ke tengah-tengah masyarakat sebagai mitra bukan sebagai penguasa. Dan satu hal yang perlu diingat, Indonesia yang seperti ”karnaval” dengan kebudayaanya yang bermacam-macam akan menimbulkan masalah dengan primordialismenya yang tentunya sulit untuk diatasi. Karena itulah bagaimana caranya kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat harus tetap diperkuat sehingga sosial demokrasi semakin kokoh. Mungkinkah itu terjadi?

Tidak ada komentar: