Sabtu, 22 Desember 2007

Edisi Curhat: Penantian & Harapan

Mungkin aku tidak pernah sanggup menjadi Genoveva Misiati, ibu Bima Petrus (korban penghilangan paksa aktivis reformasi 1998), harus kehilangan seseorang yang amat disayangi. Atau menjadi Sipon, istri Wiji Thukul. Penantian panjang untuk sebuah kepastian. Bu Genoveva setiap sore, hampir 10 tahun, selalu menunggu anaknya pulang di depan rumah. Dan, ketika senja mulai datang dan sang surya mulai tenggelam, tenggelam pulalah harapannya untuk melihat putra sematawayangnya hari ini pulang. Sementara Sipon selalu berpikir keras untuk membuat kebohongan-kebohongan terhadap mertuanya perihal hilangnya sang suami. Berusaha tetap tegar dihadapan anak-anaknya. Dimana sekarang orang-orang yang mereka cintai, jika masih hidup segera temukanlah, Tuhan, jika sudah berada dalam dekapan bumi, dimana bisa meletakkan sekuntum mawar diatasnya.

Jika dibandingkan dengan mereka jelas aku belum seberapa dalam soal penantian dan harapan. Dan pastinya masalahku sangat remeh untuk seorang manusia. Saat ini aku merasa kehilangan seseorang yang betul-betul terlalu picisan untuk diceritakan. Hampir tiga tahun aku tidak mampu untuk bertemu dengannya, atau memang takdir enggan menemukan kami kembali. Aku tahu dimana sekarang dia berada, aku tahu nomer sms juga telepon rumahnya aku tahu. Tetapi aku selalu berusaha menekan rasa yang selalu membuncah di sini.

Aku selalu mengatakan pada orang-orang jika aku mencintai lewat rasio, lewat logika yang membuat laki-laki pantas untuk kuharapkan. Tetapi ternyata itu salah. Aku selalu mengatakan pada orang-orang jika aku suka laki-laki ciri fisik seperti ini, padahal aku tidak ingin sosoknya hilang begitu saja. Aku suka laki-lakiyang seperti itu meski dia banyak kekurangan, padahal di balik itu aku hanya ingin menemukan dirinya lagi pada tubuh yang lain.

Selama ini aku berusaha menekan perasaan itu sedalam mungkin. Mencoba menegasikan dengan banyak yang lain, bukan cuma satu bahkan tiga. Tetapi ternyata ada sesuatu hal yang menuntunku kembali untuk menantinya. HARAPAN.

Aku berharap, aku bukan orang yang mendampinginya tanpa ada aturan main yang jelas. Aku ingin akulah tulang rusuknya, penjaga hati, menenangkannya saat dia mulai jenuh dengan jalan yang ditempuh. 

Dan, pastinya aku juga berharap blog ini tidak pernah dibaca olehnya. Isin pek, kalo sampai tahu aku nga-rep slirane. Yah....Meski surya menenggelamkan tubuhku di lautan, kutunggu sampai samudra mengering. (halah kok malah nyanyi)

Tidak ada komentar: